Thursday, April 18, 2013

Puisi-Puisi Firman Venayaksa

Firman Venayaksa
1/
kekasih 1

sesaat adalah waktu yang lama untuk bergumul dengan jarijari syair langit dan teduh giri.
mereka sudah mau kukabari tentang puisi lalu berbalik mengabariku dengan celoteh pagi hari

dan juga tetes susu di puting coklatmu untuk mereka. seperti lem perekat tikus yang kita beli di alfamart. likat. rekat. dirindu.

kemarin aku belikan syair langit gangsing elektronik made in china. esok aku gantikan kamu gendong teduh giri yang rajin pipis. tapi persoalan aku harus memakai kondom nampaknya harus kita obrolkan lagi malam ini. ketika mereka tidur sambil kita sibuk  bergulat bunuh nyamuk.

di televisi aku lihat kondom-kondom jadi balon ditiup anakanak indonesia. Itulah
mengapa.


Tanah Air, 2007


2/
tubuh

mari kita hardik tubuh kita yang terlentang dan guyub dengan tanah. diinjak dan menerus kerontang. sebab apa telah kita sampaikan. hanya secuil kata penyair; mulai dari celana, kulkas, artikel singkat di surat kabar minggu dan remahremeh celana dalam dan di dalam celana. ah, lagilagi tubuh kita terus dikata. diperiksa.supaya makin asing dan jauh. Kian muluk dan takabur.

tubuh kita berjumpa soekarno di kubangan. ada kasur reyot. sepeda kumbang reyot. Buku-buku peyot. dan menyempil di kamar berikutnya jejeran busana tonil bergaya perancis. tubuh kita berjumpa soeharto di kuburan keramat. ada anak cucu cicit sedang main petak umpet, perangperangan dan kudakudaan. tubuh kita berjumpa habibi di tempat pelacuran. anak kecil pun tahu ada sandiwara sedang dimainkan. suara erangan penuh bersahutan. tubuh kita berjumpa megawati di pom bensin. segak. sengit. bau taik kerbau memacetkan hidung yang sedang influenza. tubuh kita berjumpa gusdur di diskotik. goyang pinggul nyanyi tralala. tubuh kita berjumpa susilo di meja kerja. Tak hendak pegang senapan, cuma bilang dar der dor di alam mimpi.

ini betul gara-gara tubuh kita. tak mesti kita paham sebab tak semua harus penting.
kalau tak percaya, bukalah dada kita. ada jantung copot dari gagangnya. darah muncrat dari nadinya. ginjal kita disumbat batu.

operasi. ya segera.

lalu harus ke dokter. yang hanya bisa kasih aspirin dan antalgin dan tubuh kita penuh kimia. iklan obat sumbat pikiran. tubuh kita kian gemetar. tak lagi punya kecerdasan karena setiap sel otak kita disumbangkan untuk birokrat korup, jawara edan, selebritis kampungan, dosen proyek, penyair lenong, doger monyet di tivitivi dan guruguru yang berkurikulum sertifikasi.

supaya tubuh kita terus berguna, cuma ada satu cara. kita potong sebagian dan sebagian. sekerat daging kita lacurkan pada anjing. sekerat berikut kita tebar dimakan cacing. Biar daging dan nanah menetes. tumpah. tuntas.


Tanah Air, 2008


3/
banten

di jantungmu banten, aku melihat asbak dengan sekerecut abu. kepulan asap berabad silam diamdiam membeli langkahku dalam perjalanan usang. setiap getir dari matamu banten, adalah kuncup melati yang terlepas dari dahan.


Tanah Air, 2008


4/
di menara banten

kalau saja derit pintu langit membuka, seperti lalu, ketika muhammad diterbangkan, maka selaksa cemas akan tumpas.

genangan kopi hari kemarin ternyata telah mengingkari sahadatku. dan celaka, aku dikarbit. kini seperti pisang yang terlalu cepat layu. itikafku yang mainmain di kasunyatan, tahajudku yang mainmain dengan tangisan,  doaku yang bukan mainmain inginnya, tergenang di comberan kaibon.

di menara banten aku mencekik nafasku.


Tanah Air, 2008


5/
tubagus

:kepada namanama yang tak mau disebut
aku haturkan assalamualaikum, dengan takzim yang matang.
carpe diem

lupa telah kuiris matahari di dadamu. seusai perjalanan dari debu ke debu itu hari. secangkir air liur telah menggamit resah kita. di sekolah, jejaknya masih terlihat basah. menggenang di korankoran. Namun kesempatan terus membatu.


Tanah Air, 2009


6/
interlude malam

nada kian putus ditikam waktu. senarsenar berkarat dimakan sejarah. tapi tetap saja kau nyanyikan simfoni lara setelah sendal jepit dan kaos oblong hendak kau tanggalkan di tubuh.

di bawah peredaran planetplanet kemiskinan, kau menatap cahaya satu garis di kejauhan. dan terlemparlah dzikirdzikir sunyi, lepas seperti busur tak berarah.


Tanah Air, 2009



7/
tamansari

lagi. kasur pesing berkabar tentang janin bayi dan resleting yang macet. jam dua, ketika bulan mengunduh baitbait sumsum malam, ada lengang yang aneh. nafas begitu datar dan waktu lepas dari jarum jam.

suara tengik makin asin saja dan rumbai swasangka meledak di penggorengan.

Tanah Air, 2009



--------
Kegiatan di Rumah Dunia
Firman Venayaksa lahir di Cianjur, 2 September 1980. Semenjak usia tiga tahun, redaktur budaya tabloid Kaibon ini dibesarkan di Lebak-Banten tempat Max Havelaar “menemukan” Multatuli. Menyelesaikan S-1 di UPI Bandung, S-2 di UI Jakarta. Tulisannya tersebar dipelbagai media seperti Media Indonesia, Republika, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Ketapang Pers, Bangka Post, Radar Banten, Fajar Banten, Matabaca, Sabili, Annida, Spice, Keren Beken, Aneka Yes, Galamedia, On-Off, dan lain-lain. Namanya tercatat dalam Leksikon Sastra Kota yang dihimpun oleh Dewan Kesenian Jakarta (Bentang Budaya, 2003). Sementara buku antologi yang sudah terbit bersama antara lain: Tunas Kecil (2000), Ini Sirkus Senyum (Bumimanusia, 2002), Grafitti Imaji (YMS, 2002), Sembunyi Sampai Mati (Suhudsentrautama dan S3, 2003), Kacamata Sidik (Senayan Abadi, 2004), Harga Sebuah Hati (Akur, 2005), Panggil Aku Ibu (Senayan Abadi, 2005), Perjalanan Sunyi (Senayan Abadi, 2005), Ketika Penulis Jatuh Cinta (LPPH, 2005), Padi Memerah (MU3, 2005), Addicted 2 U  (LPPH, 2005), Dongeng sebelum Tidur (Gramedia, 2005), Merdeka di Negeri Jawara (lumbung banten, 2007), Tarian dari Langit (Republika, 2007), Antologi Seratus Puisi Bangkitlah Raga Negriku, Bangkitlah Jiwa Bangsaku (Depkominfo, 2008), Sebelum Meledak (MPU, 2008). Novel perdananya berupa dwilogi diberi judul Sayap-Sayap Ababil (MU3, 2005). Pernah menjadi juara 1 lomba baca puisi piala Rendra dan menyutradarai pementasan performance art dan film dokumenter. Selain menulis sastra, iseng-iseng menjadi penulis skenario dan mengerjakan lebih dari 50 musikalisasi puisi. Kini bekerja sebagai dosen tetap di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) dan menjadi presiden Rumah Dunia-Banten (www.rumahdunia.net) E-mail: venayaksa80@yahoo.com

No comments:

Post a Comment